Part 2(era Jepang 1942-1945)
Kondisi perkeretaapian angkutan batubara di Sumatera Barat tak jauh berbeda dengan dimasa penjajahan kolonial Belanda, hanya saja sering tersendat dan beberapa sarana diambil untuk keperluan mobilitas perang Asia Timur Raya. Ditambah dengan pembangunan jalur baru untuk mensuplai bahan bakar batubara ke Singapura via Pekanbaru(pantai timur Sumatera) yang dijului ‘Sumatera Death Railway’ karena pembangunannya sendiri banyak memakan korban baik dari pihak romusha maupun dari pihak tawanan perang. Rel kereta ini bertujuan sebagai media pengangkutan batu bara dan tentara dari Pekanbaru ke Muaro di barat pulau Sumatera. Pembangunan rel selesai pada 15 Agustus 1945. Rel ini hanya sekali digunakan untuk membawa tahanan perang keluar dari wilayah tersebut dan tak pernah digunakan utk mengangkut batubara dari Ombilin ke Pekanbaru sebagaiman peruntukan awal pembangunan jalur tersebut.
Part 3(era DKA-PTKA 1945-2003)
Setelah kemerdekaan, seluruh perusahaan ex kolonial Belanda akhirnya dinasionalisasi. Perusahaan kereta api Hindia Belanda yakni SS(StaatsSpoorwegen) berubah menjadi DKA(Djawatan Kereta Api). Kemudian, berubah kembali menjadi PNKA(Perusahaan Negara Kereta Api). Nah dimasa PNKA inilah didatangkan kembali 10 unit E10 nomer 51-60 ke Esslingen dan 7 unit ke Nippon Sharyo nomer 61-67 untuk menambah armada operasional lokomotif di jalur bergerigi yang saat itu masih menggunakan tenaga lokomotif uap serta menambah puluhan unit armada KKBR ke Talbot Jerman. Dengan menggunakan lokomotif E10, bisa membawa 7-9 gerbong KKBR di jalur bergerigi dengan tenaga 2 lokomotif sekaligus dengan kapasitas beban mencapai 130 ton.
Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1982. Selain di jalur gerigi, PNKA/PJKA juga mengandalkan tenaga lokomotif uap untuk operasional jalur datar seperti seri C30, C33 dan F10. Namun operasional jalur datar menggunakan lokomotif uap hanya bertahan hingga medio tahun 70an disebabkan pengadaan lokomotif BB 300 Krupp sebanyak 4 unit(ex Jawa) dan BB 303 ke Henschel sebanyak 16 unit secara bertahap(1978 dan 1984) oleh PJKA sebagai program dieselisasi di lintas datar. Dilanjutkan pada tahun 1984 PJKA ESB juga mendapat alokasi 4 unit BB 306 Henschel pada tahun 1984 untuk keperluan langsiran dan KA jarak dekat. Dengan menggunakan lokomotif sekelas BB 303, muatan bisa lebih banyak dan panjang rangkaian bisa ditambah.
Sumber: AE.Durrant |
Operasional BB 303 ini dikhususkan untuk lintas Sawahlunto-Batu Tabal dan Kayu Tanam-Teluk Bayur sehingga penempatan BB 303 dilakukan di 2 dipo yakni Dipo Padang dan Dipo Solok. Dan pada tahun 1979, dibukalah jalur baru menuju lokasi pabrik semen PTSP oleh Presiden Soeharto yang juga ikut membuka rute baru angkutan batu bara dari Sawahlunto menuju Indarung untuk mensuplai bahan bakar ke PTSP.
Pada medio tahun 80an, PJKA wilayah ESB melakukan pengadaan gerbong KKBW secara massal ke PT INKA di Madiun dan membeli 10 unit lokomotif BB 204 SLM (lokomotif diesel canggih bergerigi) yang dikhususkan untuk mengganti total peran E10 di jalur gerigi untuk mendukung penambahan kapasitas angkutan batubara yang melewati jalur bergerigi. Pembelian lokomotif secara bertahap, 4 unit pada tahun 1982 dan sisanya 6 unit pada tahun 1984. Alokasi 10 unit BB 204 tersebut semuanya untuk dipo lokomotif Padang Panjang.
Sumber: William Ford |
Dalam rangka modernisasi peralatan komunikasi antar stasiun dengan kru KA, maka pada tahun 80an dilakukan ujicoba pemasangan radio komunikasi(HT) untuk operasional kereta api angkutan batubara disepanjang jalur lintas Sawahlunto-Padang. Bisa dibilang, program ini merupakan pertama kalinya di Indonesia. Namun sayang, program tersebut berjalan tidak terlalu lama akibat peralatan ‘maaf’ tidak terawat dan ada yang dibawa pulang oleh oknum pegawai PJKA saat itu. Walau sudah didatangkan ratusan gerbong dan puluhan lokomotif, namun PJKA tetap merugi dikarenakan kondisi jalur dan persinyalan saat itu bisa dibilang tidak dalam kondisi yang baik karena rata2 masih peninggalan kolonial Belanda. Sejumlah jalur ditutup, stasiun tampak kusam, bengkel semrawut serta kinerja pegawai seperti tidak ada semangatnya. Hal tersebut berlangsung hingga masuk era PERUMKA pada tahun 1991.
Dan pada tahun 1992 hingga 1994 PERUMKA mengadakan kerjasama dengan kontraktor Ferrostaal dan SLM untuk rehabilitasi total sarana dan prasarana di jalur bergerigi. Dalam bidang prasarana, Ferrostaal menangani revitalisasi jalur bergerigi yang semuanya masih menggunakan tipe rel R33 dengan bantalan baja direhab menggunakan tipe rel R42 bantalan baja. Dalam bidang sarana, SLM membuat 7 unit lokomotif BB 204 terbaru nomer 11-17 senilai 38,43 juta frank Swiss dengan teknologi yang lebih canggih dan mutakhir dari BB 204 sebelumnya. Dengan dilakukannya kerjasama tersebut PERUMKA ESB mampu meningkatkan kapasitas angkut batubara. Pada tahun 1992 mencapai 400ribu ton/tahun, kemudian pada tahun 1994 meningkat menjadi 800ribu ton/tahun. PERUMKA ESB menetapkan tarif angkutan batubara sebesar Rp 6.500/ton. Untuk angkutan batubara sendiri sejak tahun 1994, PERUMKA ESB memiliki armada 29 unit lokomotif(adhesi &gerigi) dan 316 unit KKBW(Talbot & INKA) dengan kapasitas gerbong 25 ton/unit. Selain mengandalkan angkutan batubara dari PTBA-UPO, PERUMKA ESB juga berusaha untuk menjalin kerjasama angkutan batubara dengan perusahaan swasta PT AIC dengan kapasitas angkutan sebesar 600ribu ton/tahun dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 1995 yakni mencapai 1 juta ton/tahun. Namun hasil negosiasi dengan pihak swasta tersebut tidak membuahkan hasil karena tidak ada kata sepakat dalam masalah tarif angkutan batubara ini walau PERUMKA ESB sudah menurunkan tarif angkutan yang lebih murah ketimbang menggunakan truk yang konon mencapai Rp 9.500/ton. Sempat juga ada penawaran angkutan batubara dari perusahaan asal Thailand utk mengangkut hasil produksi di kab. Sawahlunto Sijunjung sebesar 300ribu ton pada tahap awal tahun 1996 dan diproyeksikan mencapai 2 juta ton utk beberapa tahun mendatang. Namun, hasil untuk kerjasaman pun nihil.
Artikel selanjutnya memuat bagaimana pola dari Kereta Api angkutan batu bara di Sumatera Barat.